Pada 22 Oktober 1945, tepat 75 tahun lampau, Hadaratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad sebagai bentuk komitmen dan kewajiban umat Islam mempertahankan bangsa dan negara ini yakni perlawanan kepada penjajahan. Dan hari ini akan kita jadikan momentum untuk mengenang kembali perjuangan ulama dan kaum santri di masa penjajahan.
Bagi kalangan pesantren, penjajahan bukanlah sekadar musuh kemerdekaan, namun sekaligus musuh nyata yang mengancam martabat agama. Hal ini bisa menjadi bahan refleksi Hari Santri Nasional. Perjalanan panjang ketika masih menjadi santri merupakan rangkaian petualangan yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Dari rahim pesantren inilah, berbagai macam manusia unggul itu dilahirkan.
Kontribusi yang diberikan kalangan santri dan ulama, hingga kini masih tercatat sejarah. Dimana, para santri identik loyal dan setia dalam menjaga NKRI. Bersama Ulama, Kyai dan para santri, Indonesia akan selalu mampu menghadapi tantangan zaman, termasuk melewai masa-masa sulit karena pandemi Covid-19 ini.
Dasar perjuangan santri adalah memperjuangkan tegak lestarinya ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah, yaitu Islam bermadzhab. Di tengah kampanye Islam anti-madzhab yang menggemakan jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, santri dituntut untuk cerdas mengembangkan argumen Islam moderat yang relevan, kontekstual, membumi, dan kompatibel dengan semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan.
Demikian inilah yang dicontohkan Walisongo. Islam tidak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi isinya. Bungkusnya dipertahankan dalam wadah budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dengan ajaran Islam. Budaya dijadikan sebagai infrastruktur agama, sejauh tidak bertentangan dengan syariat. Termasuk dalam hal ini adalah bentuk negara. Bentuk negara apa pun, asal syari’at Islam dapat dijalankan masyarakat, sah dan mengikat, baik berbentuk republik, mamlakah, emirat maupun bentuk lainnya. Karena NKRI berdasarkan Pancasila telah disepakati oleh para pendiri bangsa, seluruh warga negara, termasuk santri, wajib patuh menjaga dan mempertahankan konsensus kebangsaan
Jati diri santri adalah moralitas dengan kiai sebagai simbol kepemimpinan spiritual (qiyâdah rūhâniyah). Karena itu, meskipun santri telah melanglang buana, menempuh pendidikan hingga ke mancanegara, dia tidak boleh melupakan jati dirinya sebagai santri yang hormat dan patuh pada kiai. Tidak ada kosakata bekas kiai atau bekas santri dalam khazanah pesantren. Santri melekat sebagai stempel seumur hidup, membingkai moral dan akhlak pesantren. Di hadapan kiai, santri harus menanggalkan gelar dan titelnya, pangkat dan jabatannya, siap berbaris di belakang kepemimpinan kiai.
Di tengah revolusi gelombang keempat (4.0) ini, santri harus kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap nilai-nilai baru yang baik sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-nilai lama yang baik. Santri tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai Muslim yang berakhlakul karimah, yang hormat kepada kiai dan menjanjung tinggi ajaran para leluhur, terutama metode dakwah dan pemberdayaan Walisongo. Santri disatukan dalam asâsiyât (dasar dan prinsip perjuangan), khalfiyat (background sejarah), dan ghâyat (tujuan). Selamat Hari santri 2020. Santri Sehat Indonesia Kuat.
Posting Komentar
Terimakasih berkenan untuk memberikan komentar pada tulisan ini. Mohon hargai sesama dan gunakan bahasa serta penulisan yang baik dan sopan. Beberapa komentar menunggu moderasi terlebih dahulu untuk dapat ditayangkan secara publik. ... salam hormat!